Oleh: Chaidir Toweren
InfoLangsa.com
Media sosial sejatinya diciptakan sebagai sarana komunikasi, edukasi, bahkan ruang untuk berekspresi secara positif. Namun dewasa ini, kita justru menyaksikan bagaimana platform yang mulanya menjanjikan koneksi dan kemajuan itu telah beralih rupa menjadi ladang subur bagi kemunduran moral, terutama di kalangan generasi muda.
Tak bisa dipungkiri, hari ini kita hidup dalam era di mana batas antara privasi dan konsumsi publik telah kabur. Aurat yang seharusnya dijaga, kini dipertontonkan demi mendulang “like”, komentar, dan pengikut. Unggahan demi unggahan dipoles bukan dengan ilmu atau akhlak, melainkan dengan tubuh dan kemesraan yang seharusnya suci dan tersembunyi. Naudzubillah min dzalik.
Lebih memilukan lagi, bukan hanya individu yang kehilangan arah, tetapi pasangan suami-istri pun ikut larut dalam euforia eksistensi digital. Mereka tanpa ragu mempertontonkan adegan kemesraan, bahkan tak segan mengekspos aurat sang istri, seolah-olah itu bentuk cinta modern. Padahal sejatinya, itu adalah bentuk kelalaian dan kehancuran nilai-nilai Islam serta budaya timur yang menjunjung tinggi kehormatan diri.
Apakah semua ini pertanda akhir zaman? Bisa jadi. Karena salah satu cirinya adalah ketika yang haram dianggap biasa, dan yang dulu tabu kini menjadi tontonan publik tanpa rasa malu. Budaya malu telah terkikis, digantikan oleh keinginan eksis dan haus pengakuan dari dunia maya.
Kita tidak sedang membahas soal teknologi, tapi soal mentalitas. Kita tidak sedang membenci media sosial, tetapi menyesalkan bagaimana ia disalahgunakan tanpa batas. Karena sejatinya, media hanyalah alat. Yang berbahaya bukan medianya, tapi manusianya. Ketika hati kosong dari iman, maka yang lahir dari jemari bukan lagi ilmu, tapi fitnah. Bukan nasihat, tapi nafsu.
Generasi muda kita, sayangnya, semakin banyak yang tumbuh tanpa filter moral. Mereka diajarkan bahwa popularitas lebih penting dari kehormatan, bahwa viral lebih utama dari akhlak. Sementara orang tua, guru, dan tokoh masyarakat mulai kehilangan suara karena kalah cepat oleh algoritma.
Maka, inilah saatnya kita melakukan perlawanan, bukan dengan caci maki, tapi dengan edukasi dan keteladanan. Mari kita kembalikan makna malu sebagai kemuliaan, bukan kelemahan. Ajarkan bahwa aurat adalah amanah yang harus dijaga, bukan komoditas untuk diperjualbelikan demi validasi semu.
Media sosial tidak salah, yang salah adalah ketika kita membiarkannya mengendalikan akhlak kita. Sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai Islam, kembali menanamkan rasa takut kepada Allah dalam setiap tindakan. Karena generasi yang tak kenal batas, akan tumbuh menjadi masyarakat yang kehilangan arah.
Mari jaga anak-anak kita, adik-adik kita, istri dan saudara-saudari kita dari arus deras konten amoral yang dibungkus hiburan. Jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka yang merasa bangga menampilkan sesuatu yang seharusnya ditutup. Karena ketika yang tabu menjadi biasa, itu bukan kemajuan, itu tanda kemunduran, bahkan kehancuran.